Selasa, 24 September 2013

Sejarah Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tenggara dibentuk tanggal 22 September 1964. Sebelumnya, provinsi yang beribukota Kendari ini merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara yang dibentuk pada tahun 1960. Sulawesi Tenggara memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sejak zaman pra-sejarah, wilayah Sulawesi Tenggara telah memiliki penghuni. Penduduk asli provinsi ini merupakan campuran antara bangsa Wedoid dan Negroid. Sekitar tahun 3000 SM datang dan bermukim kelompok baru dari bangsa Proto-Melayu yang kemudian disusul oleh kedatangan bangsa Melayu yang lebih muda, yaitu, Deutro-Melayu tahun 300 SM.
        Sejarah Sulawesi Tenggara yang telah berbentuk kesatuan politik dimulai pada abad ke 10. Ketika itu berdiri Kerajaan Konawe, kini sebagian besar wilayahnya masuk dalam Kabupaten Kendari. Nama kerajaan ini diambil dari nama suku yang mendiami hampir seluruh daratan Sulawesi Tenggara, yaitu suku Tolaki-Konawe. Pendiri Kerajaan Konawe ini adalah Totongano Wonua, seorang keturunan Mokole Padangguni, di Unaaha.
       Setelah itu, sejumlah kerajaan bermunculan antara lain Kerajaan Buton, Kerajaan Muna, Kerajaan Mekongga, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kalisusu, dan Kerajaan Moronene. Banyak diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang memiliki ikatan kekeluargaan karena terjadi perkawinan diantara keluarga pemimpin kerajaan tersebut.
        Pada abad ke 16, Kerajaan Buton berperan sebagai pintu gerbang penyebaran agama Islam dari Ternate di wilayah Sulawesi Tenggara. Selain itu, Buton juga mencontoh Ternate dalam hal bertanam rempah-rempah.  Akhirnya Buton pun menjadi penghasil rempah-rempah terbesar kedua di Nusantara setelah Ternate.
         Sebagai penghasil rempah-rempah, Buton merupakan daerah yang sangat menarik bagi para pedagang VOC. Sejak menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Buton, tanggal 5 Januari 1613, armada perdagangan Belanda ini berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah Buton. Langkah VOC tersebut tentu saja menimbulkan perlawanan rakyat Sulawesi Tenggara, di bawah pimpinan Sultan Ikhsanuddin kemudian membangun benteng-benteng yang kukuh untuk menghadapi serangan Belanda.
        Pada tahun 1858, seorang penerus Kerajaan Konawe, La Mangu, mengadakan perjanjian dengan Belanda membentuk kerajaan baru, bernama, Kerajaan Laiwoi. Namun kerajaan tersebut hanyalah di atas kertas. Pihak Belanda yakin bahwa Kerajaan Laiwoi tidak mungkin diwujudkan sebelum kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Luwu, dan Buton ditaklukkan. Penaklukkan itu merupakan hal yang mustahil karena kuatnya angkatan perang kerajaan-kerajaan tersebut. Akhirnya Belanda menempuh jalan diplomasi. Maka digelarlah perundingan Molawe tahun 1909.
       Ditengah-tengah perundingan yang digelar di Bandar Molawe ini Belanda melakukan penculikan tokoh-tokoh terkemuka Kerajaan Konawe. Tindakan tersebut mencetuskan perang Puundombi. Setelah melalui pertempuran sengit, Konawe dapat dikalahkan dan Belanda segera mewujudkan kerajaan bonekanya, yaitu, Kerajaan Laiwoi.
          Pasca kejatuhan Kerajaan Konawe dan berdirinya Kerajaan Boneka Laiwoi, rakyat tidak berhenti melakukan perlawanan bersenjata kepada penjajah Belanda. Perjuangan rakyat malah meluas ke daerah-daerah lain, misalnya di Manumohewu rakyat melakukan perlawanan di bawah pimpinan seorang tamalaki (Perwira) bernama Lapadi. Perlawanan Lapadi berlangsung dari tahun 1908 sampai tahun 1910. dia tertangkap dalam suatu tipu muslihat yang dilakukan Belanda.
        Di awal abad ke 20, perjuangan melawan penjajah mulai dilakukan secara nasional. Banyak organisasi-organisasi politik di Jawa membuka cabang di Sulawesi Tenggara, seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah.
         Perjuangan lewat jalur politik dan senjata tetap dilakukan di era Jepang. Bahkan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pun rakyat masih melakukan perlawanan. Insiden di Kombobaru tanggal 19 November 1945, misalnya, rakyat menyerang dan menawan satu peleton tentara Jepang.
       Setelah Jepang angkat kaki dari bumi Sulawesi Tenggara, rakyat mulai melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, NICA, yang mendarat di daerah ini dengan membonceng Sekutu. Perlawanan terhadap NICA baru berhenti setelah pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).
           Bentuk negara serikat ternyata tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini menyebabkan RIS tidak berumur lama. Tanggal 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Sejak saat itu, wilayah Sulawesi Tenggara menjadi salah satu bagian dari Provinsi Sulawesi.
           Pada tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi dua, yaitu, Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara. Kondisi Sulawesi Selatan-Tenggara pada awal pembentukannya belum stabil sebagai akibat dari adanya pemberontakan Kahar Muzakkar dan peristiwa destruktif lainnya. Namun kondisi ini berlangsung membaik seiring berbagai penataan yang dilakukan pemerintah ketika itu sampai akhirnya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964, Sulawesi Tenggara berstatus sebagai Provinsi. 

0 komentar: