Sejarah Sulawesi Tenggara
Provinsi
Sulawesi Tenggara dibentuk tanggal 22 September 1964. Sebelumnya, provinsi yang
beribukota Kendari ini merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara
yang dibentuk pada tahun 1960. Sulawesi Tenggara memiliki perjalanan sejarah
yang panjang. Sejak zaman pra-sejarah, wilayah Sulawesi Tenggara telah memiliki
penghuni. Penduduk asli provinsi ini merupakan campuran antara bangsa Wedoid
dan Negroid. Sekitar tahun 3000 SM datang dan bermukim kelompok baru dari
bangsa Proto-Melayu yang kemudian disusul oleh kedatangan bangsa Melayu yang
lebih muda, yaitu, Deutro-Melayu tahun 300 SM.
Sejarah Sulawesi Tenggara yang telah berbentuk kesatuan
politik dimulai pada abad ke 10. Ketika itu berdiri Kerajaan Konawe, kini
sebagian besar wilayahnya masuk dalam Kabupaten Kendari. Nama kerajaan ini
diambil dari nama suku yang mendiami hampir seluruh daratan Sulawesi Tenggara,
yaitu suku Tolaki-Konawe. Pendiri Kerajaan Konawe ini adalah Totongano Wonua,
seorang keturunan Mokole Padangguni, di Unaaha.
Setelah itu, sejumlah kerajaan bermunculan antara lain Kerajaan Buton, Kerajaan
Muna, Kerajaan Mekongga, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kalisusu, dan Kerajaan
Moronene. Banyak diantara kerajaan-kerajaan tersebut yang memiliki ikatan
kekeluargaan karena terjadi perkawinan diantara keluarga pemimpin kerajaan
tersebut.
Pada abad ke 16, Kerajaan Buton berperan sebagai pintu gerbang penyebaran agama
Islam dari Ternate di wilayah Sulawesi Tenggara. Selain itu, Buton juga
mencontoh Ternate dalam hal bertanam rempah-rempah. Akhirnya Buton pun
menjadi penghasil rempah-rempah terbesar kedua di Nusantara setelah Ternate.
Sebagai penghasil rempah-rempah, Buton merupakan daerah yang sangat menarik
bagi para pedagang VOC. Sejak menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Buton,
tanggal 5 Januari 1613, armada perdagangan Belanda ini berusaha menguasai
perdagangan rempah-rempah Buton. Langkah VOC tersebut tentu saja menimbulkan perlawanan
rakyat Sulawesi Tenggara, di bawah pimpinan Sultan Ikhsanuddin kemudian
membangun benteng-benteng yang kukuh untuk menghadapi serangan Belanda.
Pada tahun 1858, seorang penerus Kerajaan Konawe, La Mangu, mengadakan
perjanjian dengan Belanda membentuk kerajaan baru, bernama, Kerajaan Laiwoi.
Namun kerajaan tersebut hanyalah di atas kertas. Pihak Belanda yakin bahwa
Kerajaan Laiwoi tidak mungkin diwujudkan sebelum kerajaan-kerajaan Gowa, Bone,
Luwu, dan Buton ditaklukkan. Penaklukkan itu merupakan hal yang mustahil karena
kuatnya angkatan perang kerajaan-kerajaan tersebut. Akhirnya Belanda menempuh
jalan diplomasi. Maka digelarlah perundingan Molawe tahun 1909.
Ditengah-tengah perundingan yang digelar di Bandar Molawe ini Belanda melakukan
penculikan tokoh-tokoh terkemuka Kerajaan Konawe. Tindakan tersebut mencetuskan
perang Puundombi. Setelah melalui pertempuran sengit, Konawe dapat dikalahkan
dan Belanda segera mewujudkan kerajaan bonekanya, yaitu, Kerajaan Laiwoi.
Pasca kejatuhan Kerajaan Konawe dan berdirinya Kerajaan Boneka Laiwoi, rakyat
tidak berhenti melakukan perlawanan bersenjata kepada penjajah Belanda.
Perjuangan rakyat malah meluas ke daerah-daerah lain, misalnya di Manumohewu
rakyat melakukan perlawanan di bawah pimpinan seorang tamalaki (Perwira)
bernama Lapadi. Perlawanan Lapadi berlangsung dari tahun 1908 sampai tahun
1910. dia tertangkap dalam suatu tipu muslihat yang dilakukan Belanda.
Di awal abad ke 20, perjuangan melawan penjajah mulai dilakukan secara
nasional. Banyak organisasi-organisasi politik di Jawa membuka cabang di
Sulawesi Tenggara, seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah.
Perjuangan lewat jalur politik dan senjata tetap dilakukan di era Jepang.
Bahkan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pun rakyat masih melakukan
perlawanan. Insiden di Kombobaru tanggal 19 November 1945, misalnya, rakyat
menyerang dan menawan satu peleton tentara Jepang.
Setelah Jepang angkat kaki dari bumi Sulawesi Tenggara, rakyat mulai melakukan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka melakukan perlawanan terhadap
tentara Belanda, NICA, yang mendarat di daerah ini dengan membonceng Sekutu.
Perlawanan terhadap NICA baru berhenti setelah pengakuan kedaulatan pada
tanggal 27 Desember 1949. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Bentuk negara serikat ternyata tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini
menyebabkan RIS tidak berumur lama. Tanggal 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar
dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Sejak saat itu, wilayah Sulawesi
Tenggara menjadi salah satu bagian dari Provinsi Sulawesi.
Pada tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi dua, yaitu, Provinsi
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara. Kondisi
Sulawesi Selatan-Tenggara pada awal pembentukannya belum stabil sebagai akibat
dari adanya pemberontakan Kahar Muzakkar dan peristiwa destruktif lainnya.
Namun kondisi ini berlangsung membaik seiring berbagai penataan yang dilakukan
pemerintah ketika itu sampai akhirnya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964,
Sulawesi Tenggara berstatus sebagai Provinsi.
0 komentar:
Posting Komentar